Selasa, 23 April 2013

aliran filsafat pendidikan makalah, positifme, kritisme, naturalisme


Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka salam membahas filsafat pendidikan akamn berangkat dari filsafat. Dalam arti, filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. Yang kedua didsari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.

Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:

1. Filsafat Pendidikan Idealisme
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali.

2. Filsafat Pendidikan Realisme
Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dn mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill

3. Filsafat Pendidikan Materialisme
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural.
Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach.

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami.
Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.

5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich.

6. Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatugerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff.

7. Filsafat Pendidikan esensialisme
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.

8. Filsafat Pendidikan Perenialisme
Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.

9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

Rabu, 20 Maret 2013

PEMIKIRAN HARUN NASUTION

Pemikiran Harun Nasution

Dari segi pemikiran, gagasan Prof Harun tak lepas dari petualangan panjangnya. Yang paling menonjol tentu saat ia menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Di kedua negeri inilah, ia terkagum dengan pemikiran tokoh dan pembaru Muhammad Abduh, terutama sekali tentang paham Mu'tazilah yang banyak menganjurkan sikap-sikap qadariah. Di kemudian hari, Harun dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak memperhatikan pembaharuan dalam Islam, meliputi pemikiran teologi, filsafat, mistisisme (tasawuf), dan hukum (fikih) saja, hingga masalah segi kehidupan kaum Muslim. Ada dua obsesi Harun yang paling menonjol. Pertama, bagaimana membawa umat Islam Indonesia ke arah rasionalitas. Kedua, terkait dengan yang pertama, bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia tumbuh pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. 

Harun sering menyatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam Indonesia adalah akibat dominasi Asy'arisme yang sangat bersifat Jabariah (terlalu menyerah pada takdir). Untuk itu, dalam berbagai tulisannya Harun selalu menghubungkan akal dengan wahyu, dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu dalam pandangan Alquran yang demikian penting dan bebas. Harun memang sangat tersosialisasi dalam tradisi intelektual dan akademis kosmopolitan (Barat). Tapi, sesungguhnya hampir sepenuhnya dia mewarisi dasar-dasar pemikiran Islam abad pertengahan. Penguasaannya yang mendalam terhadap pemikiran-pemikiran para filsuf Islam, termasuk pengetahuannya yang luas terhadap dunia tasawuf, membuat ia dapat merumuskan konsep yang akurat tentang terapinya untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia. Ia selalu mengatakan bahwa kebangkitan umat Islam tidak hanya ditandai dengan emosi keagamaan yang meluap-luap, tapi harus berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh, dan filosofis terhadap agama Islam itu sendiri. 

Semua itu dia buktikan dengan mewujudkan tiga langkah, yang kerap disebut sebagai ''Gebrakan Harun''. Gebrakan pertama, dia meletakkan pemahaman yang mendasar dan menyeluruh terhadap Islam. Menurutnya, dalam Islam terdapat dua kelompok ajaran. Ajaran pertama bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah, dan tidak boleh diubah. Ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis mutawatir berada dalam kelompok ini. Kedua, bersifat absolut, namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama berada dalam kelompok ini. Dalam ajaran Islam, lanjutnya seperti ditulis dalam Islam Rasional (Mizan), yang maksum atau terpelihara dari kesalahan hanyalah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, kebenaran hasil ijtihad para ulama bersifat relatif dan bisa direformasi. Menurutnya, kedinamisan suatu agama justru ditentukan oleh sedikit banyaknya kelompok pertama itu. Semakin sedikit kelompok ajaran pertama, semakin lincahlah agama tersebut menghadapi tantangan zaman dan sebaliknya. Kenyataannya, kata Harun, jumlah pertama sedikit. 

Gebrakan kedua dilakukan saat dia menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1973 (kini Universitas Islam negeri/UIN). Saat itu, secara revolusioner dia merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia. Pengantar ilmu agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi, dan metodologi riset. Menurut dia, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi fikih harus diubah karena hal itu membuat pikiran mahasiswa jumud. Sedang gebrakan ketiga, bersama menteri agama Harun mengusahakan berdirinya Fakultas Pascasarjana pada 1982. Menurutnya, di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama, dan menguasai filsafat. Filsafat, ujarnya, sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti itulah yang diharapkannya lahir dari Fakultas Pascasarjana. Dampak dari usaha Harun sungguh luar biasa. Ciputat jadi hidup. 

Berbagai gagasan Harun yang dikenal amat menjunjung tinggi rasionalitas dan metode ilmiah itu, tak sedikit kalangan menuduhnya sebagai pelopor gerakan mu'tazilah dan salah seorang penyokong sekularisme di Indonesia. Ini jelas terlihat dari karyanya berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Toh demikian, Harun tetap melaju membumikan Islam. Menurut Nurcholish Madjid, Harun telah memberikan sumbangan nyata bagi bangsa Indonesia dalam hal menumbuhkan ''tradisi intelektual'' yang dirintis di IAIN Jakarta, dan kemudian menghasilkan suatu gejala umum bahwa doktrin bukan sebagai taken for granted, justru di saat doktrin itu sudah mapan. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity. Harun, lanjut Cak Nur, telah berhasil menciptakan intellectual capacity sekaligus learning capacity. 

Pola pemikiran Harun, dalam pandangan Cak Nur, sangat Abduhis. Etos atau penghargaannya terhadap Muhammad Abduh sangat tinggi. Obsesi Harun kepada Mu'tazilah mempunyai relevansi terhadap dua hal. Pertama, rasionalitas, sebab dampak dari etos kerasionalan itu ialah pembukaan yang mempunyai efek pembebasan. Kedua, pengakuan atas kapasitas manusia qadariah. Kemunduran kaum Muslim, kata Harun, salah satunya lantaran dominasi Asy'ariyah yang Jabbari. Betapapun, Harun telah menanamkan fondasi Islam modern Indonesia. Perjuangan panjangnya itu berakhir pada 18 September 1998, ketika Sang Khaliq memanggilnya untuk selama-lamanya. Kini, meskipun beliau sudah lama wafat, Harun seakan terus 'hidup' melalui gagasan dan pemikirannya. 


Harun Nasution tergolong pemikir dan penulis produktif. Sedikitnya telah tujuh buku ia tulis. Yakni, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (bukan saja buku yang sangat laris, tapi itu sengaja dia tulis agar umat Islam bersikap moderat setelah melihat agama Muhammad ini dari berbagai sisinya. Buku lainnya, Filsafat Agama, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, adalah karya yang sengaja ia buat dalam rangka memperkenalkan filsafat ke khalayak ramai dengan bahasa yang mudah dicerna. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan/ serta Akal dan Wahyu dalam Islam. 


Teologi Rasional Mu’tazilah ala Harun Nasution

Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif.[12] Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah.[13] Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal. 

Nasib Mu'tazilah, mazhab teologi paling rasional dalam sejarah klasik Islam, bisa diibaratkan mutiara yang tertutup debu. Berharga, tapi tak banyak ulama yang sudi melihat "kemilau" pemikiran kaum rasionalis yang dipelopori Washil bin Attha' pada abad XIII itu. Bahkan, sebagian dari mereka--atas dasar perbedaan pandangan teologis- -menuduh penganut mazhab tersebut kafir dan sesat.Sikap kurang menyenangkan semacam itu pernah dialami Profesor Harun Nasution,pemikir rasionalis dan penjaja pemikiran Mu'tazilah paling gigih di Indonesia. Memang kaum Mu'tazilah, menurut cendekiawan Fazlur Rahman, guru besar studi Islam di Universitas Chicago, AS, telah membawa rasionalitas demikian jauh dengan menyejajarkan kemampuan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Pemikiran Mu'tazilah, dalam konteks waktu itu, dianggap melampaui zamannya.

Beberapa tema pokok mazhab tersebut--seperti rasio disejajarkan dengan wahyu, manusia memiliki otoritas penuh atas perbuatannya, dan takdir Tuhan adalah final dengan diciptakannya sunatullah (hukum alam)-- cukup mempengaruhi cara pandang intelektual muslim hingga kini.

Harun adalah salah satu pemikir yang berhasil membersihkan "debu" mutiara itu. Menurut Harun, teologi Mu'tazilah adalah embrio teologi rasional dan teologi liberal dalam Islam –dua aspek yang menurut pemikir terkemuka dari IAIN ini relevan untuk masyarakat modern. Pemikiran ini berbeda dengan teologi fatalistik ala Asy'ariyah, mazhab teologi varian Jabbariyah, yang selama ini membentuk masyarakat tradisional. Menurut Harun, untuk memodernisasi umat, teologi Asy'ariyah harus diganti dengan teologi Mu'tazilah. Teologi yang fatalistik adalah biang kemunduran masyarakat muslim bagi Harun.

Implikasi dari teologi rasional, seperti diperlihatkan pemikiran- pemikiran Harun, memang tampak moderat, lebih terbuka terhadap peradaban dan kebudayaan lain, dan tak terjebak pada satu mazhab (desakralisasi mazhab). Namun, bedanya dengan rasionalisme dan liberalisme, dua narasi besar yang menjadi landasan peradaban sekuler
Barat, menurut Dr. Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina, Jakarta, rasionalisme Islam tak sampai meninggalkan wahyu sebagai instrumen kebenaran.

"Seekstrem-ekstremnya pemikir Islam, wahyu tetap sebagai sumber utama. Hanya, ruang untuk akal diperluas serta penafsirannya lebih kontekstual dan liberal," kata Komaruddin. Itu juga yang terjadi pada Harun, yang mendesakralisasi mazhab-mazhab fikih tapi tak meninggalkan tasawuf. Dalam bahasa Nurcholish Madjid, seperti termuat dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam--70 Tahun Harun Nasution, Harun adalah "pembuka" pintu dalam mendekati wahyu secara rasional. "Sebuah langkah dari ribuan langkah yang memang harus ditempuh," kata Nurcholish






BAB I
PENDAHULUAN



A.     Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk muslim yang menerima Al-Quran dan Hadits secara dogmatis (tauqifi). Namun pemikiran yang lama tertanam dalam masyarakat Indonesia mengalami kejumudan yang pasif dan statis, menanggapi semua itu para reformis Indonesia berjuang dengan cara masing-masing, diantaranya ada yang mengambil model memunculkan paham pemikiran baru.
Harun Nasution adalah salah satu dari reformis Indonesia yang memperjuangkan model pemikiran baru yang mengedepankan akal. Beliau juga dengan semangat hendak menggeser paham Asy’ariyah yang sudah tertanam subur dengan paham Mu’tazilah yang dianggap lebih baik dalam menghadapi modernitas.
Makalah ini disajikan untuk mengetahui sepak terjang beliau dalam menanggapai masyarakat pada masanya, serta doktrin Mu’tazilah yang diambilnya sebagai sumber paham rasionalis untuk menghadapi perkembangan zaman.

B.     Masalah
Dalam makalah ini kami mengangkat beberapa masalah yang mempertanyakan beberapa hal, diantaranya :
·         Siapakah Harun Nasution?
·         Bagaimana pemikiran yang diperjuangkannya?

C.     Tujuan
Dari pertanyaan-pertanyaan yang ada, maka kami menyimpulkan dari beberapa sumber untuk bisa memberikan jawaban dan pemahaman akan :
·         Riwayat singkat dari Harun Nasution.
·         Perjuangan dan pemikirannya.



BAB II
PEMBAHASAN



A.    Riwayat singkat Harun Nasution
1.      Keluarga
Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama sebagai anak ke empat dari lima bersaudara.[1] Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadiQadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad. Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik.[2]

2.      Jenjang Pendidikan
Harun Nasution bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari MIK (Moderne Islamietische Kweekschool). Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo. Dia pun melanjutkan pendidikanya hingga meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968.[3]

3.      Karir
Harun Nasution sudah menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dan setelah dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, dia menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.[4]

B.     Perjuangan
Sebagai Tokoh paling menonjol di antara para pemikir yang independen yang tidak terikat dengan organisasi massa keagamaan. Nasution memiliki kontribusi terbesar dalam upayanya memperkenalkan teologi rasional Mu’tazilah secara lebih komprehensif. Karena, sebelumnya Mu’tazilah sering dianggap sebagai rangkaian bid’ah yang diketahui hanya melalui polemik yang dipinjam dari sumber-sumber Asia Selatan dan Timur Tengah.
Walaupun begitu, perhatian terhadap teologi rasional ini, sebenarnya telah dikembangkan oleh sebagian tokoh reformis sebelum kemunculan Nasution dalam kancah akademik di Indonesia. Para tokoh tersebut telah mencoba memperkenalkan Islam secara lebih rasional, sebagai agama yang mendorong pemeluknya untuk mencapai kemajuan duniawi sambil membebaskannya dari pengaruh lokal yang tidak sesuai dengan ajaran pokok Islam. Tetapi meskipun para tokoh ini telah mencoba mengembangkan pandangan teologi rasional, mereka tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai penganut paham Qadariyah, apalagi Mu’tazilah.
Ketika Nasution kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar doktor dari Institute of Islamic Studies, McGill University, tahun 1969, dia cukup sadar tentang sikap orang Islam di Indonesia terhadap paham Mu’tazilah ini. Didalam sebuah artikel yang ia tulis di awal 1970-an, dia menyatakan: “ Di Indonesia, aliran Mu’tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena dianggap mempunyai pendapat-pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.”
Pada zaman Harun Nasution yang mengalami gejolak politik dan perekonomian, yang dengannya  semangat mendorong pertumbuhan perekonomian dan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Suharto dalam Orde Baru. Umat Islam tertantang untuk menunjukkan perhatian mereka terhadap program-program yang menggemborkan berbagai macam kemajuan, yang juga menimbulkan pertanyaan, apakah Islam sesuai dengan kemajuan dan modernitas.
Merespon hal yang demikian maka Nasution menyatakan, bahwa selama umat Islam tetap berpegang pada pandangan hidup yang fatalistik sebagaimana diajarkan dalam teologi Asy’ariyah, hampir tidak mungkin untuk diharapkan mereka akan mau berpartisipasi dalam proses pembangunan di negeri mereka. Karena “Jika umat Islam harus berhadapan dengan modernitas maka sangatlah penting bagi mereka untuk menggantikan teologi Asy’ariyah dengan Mu’tazilah”. Dengan kata lain, demi berperan secara positif dalam pembangunan bangsa, umat Islam harus meninggalkan paham Asy’ariyah dan berpindah ke paham Mu’tazilah.[5]
Dengan menggunakan model pemikiran baru yang bertentangan dengan pemikiran umum pada masanya, Nasution harus menghadapi berbagai supremasi pemikiran agama yang secara tradisional berada dibawah kekuasaan tokoh-tokoh tertentu, seperti kyai atau ulama.
Pada masanya banyak orang-orang yang fanatik terhadap golongan tertentu, bahkan mereka yang menjadi kaum reformis yang sudah terbuka pada perbedaan pun tidak bisa memberikan kebebasan kepada audien dan juga masih mengarahkan audien untuk menentukan pilihan mereka. Dan doktrin yang disampaikan pun masih tetap mengarahkan audien untuk memperkuat keyakinan. Berbeda dengan Nasution yang hadir dengan memfokuskaan kajian intelektual. Penyampaian Nasution tidak mengarahkan audien, tetapi cenderung tidak memperdulikan keyakinan audien, dengan mengutarakan secara objektif terhadap fakta sejarah akan hal yang negatif ataupun positif dari aliran-aliran. Dengan harapan audien bisa menentukan sendiri pilihan mereka, dengan intelektualitas yang dimiliki oleh audien,sehingga tidak akan mudah terkejut jika dihadapkan dengan berbagai paham yang berbeda-beda.
Perjuangan Nasution akhirnya berjalan mulus, dengan penobatannya sebagai orang penting di IAIN. Paham tersebut akhirnya disalurkan kepada mahasiswa baru IAIN, dan dengan sengaja membiarkan para pembaca dan mahasiswa menelaah secara mandiri sisi baik dan buruk dari sebuah aliran dalam sejarah Islam. Pandangan-pandangan yang bersifat pembaruan tersebut akhirnya dibukukan dalam karyanya, “Islam ditinjau dari berbagai aspeknya” (1974). Berbagai kritikan pun mencuat, terutama dari H.M. Rasyidi yang tidak diindahkan oleh Nasution. Yang seharusnya bukanlah sikap seorang yang terpelajar jika tidak mengindahkan kritik dan menyelesaikannya dengan benar. Bahkan Nasution malah mendapat dukungan yang cukup signifikan dari semua rektor IAIN, yang akhirnya menetapkan mata kuliah Pengantar Studi Islam sebagai mata kuliah yang harus diprogram oleh mahasiswa IAIN.
C.     Pemikiran Harun Nasution
Ketidakpuasan yang dirasakan Nasution terhadap paham masyarakat yang tergolong jumud dan fatalis menjadikannya benar-benar haus akan pemikiran baru yang bisa memuaskan akalnya, hingga petualangan panjang yang didapatkannya saat menuntut ilmu di Makkah dan Mesir. Disanalah Nasution menemukan tokoh dan pemikiran baru Muhammad Abduh, terutama pada paham Mu’tazilah yang menganjurkan paham-paham qadariah. Sebuah paham baru yang memuaskan akal Nasution dan di kemudian hari menjadikannya sebagai intelektual muslim yang banyak memperhatikan pemikiran teologi, filsafat, sejarah, tasawuf, hukum, dan politik.
Dia pun menyatakan bahwa agama tidak boleh hanya berdasarkan kepada wahyu, karena harus memahami juga fakta sejarah dan budaya yang ada di dalam Agama. Ia juga mencetuskan bahwa Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek besar yang bersifat doktrinal yang berkenaan dengan masalah pokok-pokok agama dan nondoktrinal yang  berkenaan dengan aspek historis. Dalam aspek doktrinal pun diklasifikasikan dengan ajaran fundamental yang dogmatis (Al-Quran dan Hadits) dan nonfundamental yang berhubungan dengan interpretasi dari doktrin itu sendiri, yang mengarah kepada perkembangan aliran pemikiran atau madzhab. Menurut paham Nasution sebuah interpretasi dari  doktrin tidak bisa dipandang sebagai kebenaran yang mutlak, sebab terbatas dengan waktu dan budaya. Maka, interpretasi bisa berubah jika keadaan menghendakinya. Dengan ini Nasution juga melarang taklid atau peniruan secara membuta.
Dalam pemikiran fatalis, jumud, lagi fanatik yang membuta, manusia dianggap lemah dan terbatas kekuatannya. Aktivisme dan dinamisme sedikit demi sedikit pastilah akan digantikan oleh sikap pasif dan statis. Dan mereka akan berpendirian bahwa nasib tidak mungkin berubah dan setiap bentuk gerakan atau tindakan telah ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan, sehingga hukum alam (sunnatullah) tidak berlaku sama sekali. Dan dari pemahaman yang pasif dan statis tersebut dapat diramalkan bahwa kehidupan yang ada bagi mereka hanya akan memperlambat dan bahkan menghalangi kemajuan keilmuan dan teknologi yang menjadi simbol modernitas.[6]
Nasution akhirnya terobsesi dengan berbagai masalah tersebut, dan ingin membawa umat Islam Indonesia ke arah yang lebih rasional, dan menginginkan umat Islam Indonesia bisa mengakui keberadaan qadariah. Dan juga untuk sadar bahwa dengan qadariyahlah Islam bisa bangkit dari ketertinggalan zaman yang terus berkembang.



BAB III
PENUTUP




A.    Kesimpulan
Harun Nasution adalah salah satu pembaru Indonesia yang membawa paham rasionalis Mu’tazilah ke Indonesia.
Perjuangan Nasution berawal dengan menghadapi berbagai macam pertentangan dan kritikan dari tokoh ulama dan kyai ataupun kaum terpelajar lain yang menentang paham Mu’tazilah, karena memang bertentangan dengan paham al-Asy’ariyah yang masa itu adalah paham mayoritas. Tapi sayangnya sebagai seorang yang terpelajar harusnya Nasution menanggapi berbagai macam kritikan yang ditujukan kepadanya.
Nasution bertujuan untuk membangkitkan semangat umat Islam Indonesia untuk kembali berfikit rasional demi mengejar ketertinggalan dalam berbagai macam perkembangan ilmu pengetahuan. Dan juga mengubah pandangan negatif, bahkan agar umat Islam Indonesia mengakui paham Qadariyah Mu’tazilah.



DAFTAR PUSTAKA


·         Bahrun, “Teologi pembaharuan,”http://www.scribd.com/doc/19682920/Harun-Nasution-Teologi-Pembaharuan, (diakses pada 25 April 2011).
·         Bari, Ahmad Fathul, “Harun Nasution dalam Khasanah Pemikiran Indonesia,”http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/2, (diakses pada 25 April 2011).
·         Saleh, Fauzan, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004).
·         Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Harun Nasution”, http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution,(diakses 25 April 2011).



[1] http://www.scribd.com/doc/19682920/Harun-Nasution-Teologi-Pembaharuan
[2] http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/2
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Harun_Nasution
[4] Ibid. fathulbari
[5]Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004). 264
[6] Ibid, 265.



Nasib Mu'tazilah, mazhab teologi paling rasional dalam sejarah klasik Islam, bisa diibaratkan mutiara yang tertutup debu. Berharga, tapi tak banyak ulama yang sudi melihat "kemilau" pemikiran kaum rasionalis yang dipelopori Washil bin Attha' pada abad XIII itu. Bahkan, sebagian dari mereka--atas dasar perbedaan pandangan teologis--menuduh penganut mazhab tersebut kafir dan sesat.
Sikap kurang menyenangkan semacam itu pernah dialami Profesor Harun Nasution, pemikir rasionalis dan penjaja pemikiran Mu'tazilah paling gigih di Indonesia. Harun Nasution, lelaki asal Mandailing, Sumatra Utara, yang mendapatkan gelar doktornya di Universitas McGill, Kanada, tahun 1968, meninggal dalam usia 79 tahun, akhir bulan lalu. Ia menulis tesis tentang pemikiran Muhammad Abduh, ulama modernis asal Mesir.
Dalam sebuah pertemuan ulama, Muhammad Hatta, mantan wakil presiden RI, pernah bertanya kepada Harun tentang tesisnya. "Mengapa tidak dipublikasikan saja?" tanya Bung Hatta waktu itu. Sebagai jawaban, Harun mengatakan, ia takut akan reaksi negatif dari sebagian umat Islam.
Ternyata dugaannya tak meleset. Ketika Harun mengungkapkan kesimpulannya dalam pembicaraan itu, bahwa Abduh seorang penganut Mu'tazilah, seorang tokoh Islam yang berada di dekat Harun dan Bung Hatta berkomentar, "Naudzubillah," ungkapan yang menyiratkan ketidaksukaan terhadap Mu'tazilah.
Bahkan, di kesempatan lain, cendekiawan Islam, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, pernah mengecam pemikiran Harun, yang menurut dia dipengaruhi cara berpikir kaum orientalis.
Memang kaum Mu'tazilah, menurut cendekiawan Fazlur Rahman, guru besar studi Islam di Universitas Chicago, AS, telah membawa rasionalitas demikian jauh dengan menyejajarkan kemampuan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Pemikiran Mu?tazilah, dalam konteks waktu itu, dianggap melampaui zamannya.
Beberapa tema pokok mazhab tersebut--seperti rasio disejajarkan dengan wahyu, manusia memiliki otoritas penuh atas perbuatannya, dan takdir Tuhan adalah final dengan diciptakannya sunatullah (hukum alam)--cukup mempengaruhi cara pandang intelektual muslim hingga kini.
Harun, yang pernah menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, adalah salah satu pemikir yang berhasil membersihkan "debu" mutiara itu. Menurut Harun, teologi Mu'tazilah adalah embrio teologi rasional dan teologi liberal dalam Islam--dua aspek yang menurut pemikir terkemuka dari IAIN ini relevan untuk masyarakat modern.
Pemikiran ini berbeda dengan teologi fatalistik ala Asy'ariyah, mazhab teologi varian Jabbariyah, yang selama ini membentuk masyarakat tradisional. Menurut Harun, untuk memodernisasi umat, teologi Asy'ariyah harus diganti dengan teologi Mu'tazilah. Teologi yang fatalistik adalah biang kemunduran masyarakat muslim bagi Harun.
Implikasi dari teologi rasional, seperti diperlihatkan pemikiran-pemikiran Harun, memang tampak moderat, lebih terbuka terhadap peradaban dan kebudayaan lain, dan tak terjebak pada satu mazhab (desakralisasi mazhab). Namun, bedanya dengan rasionalisme dan liberalisme, dua narasi besar yang menjadi landasan peradaban sekuler Barat, menurut Dr. Komaruddin Hidayat dari Yayasan Paramadina, Jakarta, rasionalisme Islam tak sampai meninggalkan wahyu sebagai instrumen kebenaran.
"Seekstrem-ekstremnya pemikir Islam, wahyu tetap sebagai sumber utama. Hanya, ruang untuk akal diperluas serta penafsirannya lebih kontekstual dan liberal," kata Komaruddin. Itu juga yang terjadi pada Harun, yang mendesakralisasi mazhab-mazhab fikih tapi tak meninggalkan tasawuf.
Dalam bahasa Nurcholish Madjid, seperti termuat dalam buku Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam--70 Tahun Harun Nasution, Harun adalah "pembuka" pintu dalam mendekati wahyu secara rasional. "Sebuah langkah dari ribuan langkah yang memang harus ditempuh," kata Nurcholish.